Novel “Senja Tak Pernah Datang Bersama” menceritakan kisah Johan, seorang pemuda yang terjebak dalam siklus mimpi mendalam tentang seorang gadis bernama Anna dan sebuah tempat yang terasa sangat nyata namun tidak dapat ia jangkau. Novel ini dibuka dengan Johan berdiri sendirian di Jembatan Tua pada pukul 03.27, menggenggam erat liontin perak yang sudah lama tidak berdenyut. Tempat itu adalah lokasi di mana Anna pernah berdiri dan berkata kepadanya, “Kalau suatu hari nanti kamu kembali… carilah aku di detik yang tertinggal,” sebelum kabut menelannya bersama waktu.
Pencarian dan Kenyataan yang Memudar (Chapter I–III)
Johan terus dihantui oleh mimpi-mimpi yang hangat, lembut, dan penuh perhatian, di mana ia merasa sangat dekat dengan seseorang yang ia yakini ada. Saat bangun, yang tersisa hanyalah rasa hampa, air mata yang membasahi matanya, dan ingatan yang hilang. Namun, perasaan itu begitu kuat; ia percaya gadis dalam mimpinya, yang kemudian ia ketahui bernama Anna (berdasarkan sebuah visi cepat di kereta), adalah nyata. Anna, dalam visi tersebut, memberikan liontin kecil yang berkilau seperti zamrud kepada Johan, sebelum kerumunan orang memisahkan mereka.
Meskipun Johan menganggap semua itu hanya mimpi, seiring waktu, ia mulai melihat pecahan gambar dari mimpinya di dunia nyata—di balik poster, buku perjalanan, hingga mural. Ia terobsesi mencari lokasi yang terus muncul: danau, jembatan kayu, dan gunung-gunung. Johan memutuskan untuk bertindak, didorong oleh keyakinan bahwa jika ia tidak mencari jawaban, mimpi itu akan selamanya menjadi luka. Ia menyusun sketsa dari ingatan samarnya dan merencanakan perjalanan selama tiga hari ke daerah pegunungan Hida. Ia harus pergi ke tempat yang hanya bisa ia capai jika ia percaya mimpi itu nyata.
Kota yang Hilang (Chapter IV)
Perjalanan Johan membawanya ke Nagoya. Setelah pencarian yang penuh keraguan dan petunjuk samar dari gambar-gambarnya, ia akhirnya menemukan petunjuk penting di sebuah kedai ramen kecil. Pemilik kedai mengenali sketsa Johan, memastikan bahwa tempat yang ia gambar adalah Ezebu. Namun, realitas Ezebu jauh dari bayangan mimpi.
Beberapa jam kemudian, Johan berdiri di hadapan batas pembatas kuning-hitam. Ezebu adalah daerah tertutup yang dinyatakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kota yang ia cari telah lama tertutup, sebagian besar bangunannya tertelan danau dan hanya menyisakan reruntuhan, seolah-olah kota itu pernah ada dalam dua kenyataan yang berbeda.
Johan menyadari bahwa bencana yang menghancurkan kota Ezebu terjadi tiga tahun lalu, saat komet Enlil meluncur lurus ke bumi. Tabrakan itu tampaknya tidak hanya menghancurkan kota dan menelan nyawa, tetapi juga membelah waktu, ruang, dan kenyataan. Hipotesis Johan adalah Anna berasal dari dunia yang lain. Rasa sakitnya semakin dalam ketika ia memeriksa catatan digital Anna di ponselnya—semua tulisan itu berkerut, melintir, dan kemudian menghilang, seolah dunia menolak eksistensinya.
Titik Temu dan Pergeseran Waktu (Chapter V & VI)
Meskipun bukti menghilang, Johan tidak menyerah. Di perpustakaan kota, ia menemukan koran tua tentang bencana Ezebu, dan sebuah buku kuno di sana terbuka sendiri, menampilkan sketsa kasar Anna di tepi danau, yang segera memudar. Tekad Johan menguat: ia akan mencari Anna sampai ia menemukan dunia itu.
Berdasarkan ingatan samar tentang Anna yang pernah ke sebuah gua di seberang danau, Johan melanjutkan perjalanannya ke arah utara danau, menuju kawah bekas tabrakan Enlil. Di sana, di depan sebuah altar tua dengan dua bejana tanah liat, Johan meminum sisa sake persembahan yang kental. Seketika, pandangannya gelap dan ia mengalami kilasan kenangan (bukan miliknya), lalu mendengar suara Anna memanggilnya. Johan tersadar, yakin: Anna nyata dan dia juga mencarinya.
Di saat yang sama, Anna di masa lalu (sebelum bencana) juga tertarik ke kawah tersebut. Di sana, ia bertemu dengan seorang pria yang ia tidak kenal, yang ternyata adalah Johan dari masa depan, tujuh tahun dari waktunya. Johan (masa depan) menjelaskan bahwa ia datang karena Anna yang memanggilnya, dan ia memberikan liontin itu kembali kepada Anna. Liontin itu, yang terikat dengan ingatan dan perasaannya, akan mentransfer semua yang ia ketahui tentang bencana yang akan datang ke Anna saat disentuh.
Misi Penyelamatan (Chapter VI & VII)
Setelah menerima ingatan Johan, Anna mengerti: Ezebu akan hancur dan ia harus bertindak cepat. Johan (masa depan) mengungkapkan rencananya: Anna harus meledakkan salah satu kaki menara transmisi tua di sisi barat kota untuk menciptakan guncangan mirip gempa, memadamkan listrik, dan membajak siaran radio lokal untuk mengeluarkan peringatan evakuasi palsu ke sekolah. Tujuannya adalah menyelamatkan semua orang sebelum komet Enlil jatuh.
Setelah rencana diterima, Johan (masa depan) mulai memudar, karena waktunya di masa lalu telah habis. Ia berpesan agar Anna meneruskan semua ini dan memberikan pesan itu kepada Johan yang hidup di masa itu, dibantu dengan liontin itu.
Anna membuat persiapan detail, termasuk rencana menggunakan motor tuanya sebagai bahan peledak. Anna kemudian menaruh liontin itu di altar batu, menjadikannya “jembatan” dari masa depan ke masa lalu, berharap agar Johan (masa lalu) dapat membaca pesan di dalamnya.
Pertemuan Akhir di Stasiun
Anna kemudian melakukan perjalanan ke kota. Di tengah keramaian stasiun kereta, ia akhirnya menemukan Johan. Di dalam gerbong yang padat, Anna menghampirinya, tetapi Johan (masa lalu) tidak mengenalinya. Sebelum kereta bergerak dari stasiun Ezebu Tengah, Anna berteriak, “Namaku Anna!” sambil melepas dan memberikan liontin itu kepada Johan.
Johan, yang kebingungan namun tersentuh, berhasil menangkap liontin itu—yang terasa hangat di tangannya. Ia membalas dengan ragu, “Namaku Johan”. Keduanya terpisah oleh kaca kereta yang melaju, terpisah oleh waktu dan ruang, tetapi akhirnya tahu bahwa mereka terikat.
Penutup
Setelah melintasi celah antar realitas dan menjelajah dunia paralel, Johan dan Anna tiba di sebuah persimpangan di mana misteri identitas dan kebenaran terungkap. Meskipun realitas yang mereka pilih tidak sempurna, mereka berdua kini berdiri di tepi dunia baru. Satu hal yang konstan di setiap semesta yang mereka lintasi adalah cinta yang tumbuh di antara reruntuhan, yang melawan semua logika, dan justru karena itulah ia bertahan. Mereka kini siap membangun masa depan dari puing-puing, tanpa rasa takut lagi.
Baca selengkapnya disini
Tinggalkan Komentar