Novel “Pangeran di dalam Lautan” (ditulis oleh RAKA AFRILIANTO dan diterbitkan di Jakarta) adalah sebuah dongeng yang mengisahkan petualangan tiga pangeran yang bertujuuan untuk mencari ilmu dan pengalaman demi menjadi pemimpin yang bijaksana. Kisah ini menekankan nilai-nilai moral seperti persaudaraan, kejujuran, kerja sama, dan pentingnya mengambil keputusan yang bijak.
Tiga Pangeran dan Motivasi Merantau
Kisah ini berlatar di Kerajaan bawah laut, tempat tinggal tiga putra raja: Muhammad Yusuf Kristof (Kristof, putra sulung), Ahmad Louis Ali (Louis, putra kedua), dan Abdullah Amir Mahesa (Mahesa, putra bungsu). Kristof menyadari bahwa meskipun mereka adalah anak raja, mereka tidak memiliki ilmu pengetahuan dan pengalaman yang memadai untuk memimpin rakyat agar hidup sejahtera dan aman sentosa. Kristof menjelaskan bahwa penggantian raja harus didasarkan pada ilmu, kebijakan, dan keadilan, bukan semata-mata keturunan. Ketiga bersaudara itu sepakat untuk mengembara mencari ilmu dan pengalaman ke luar negeri.
Setelah mendapat restu dari Raja dan Ratu, mereka mempersiapkan diri untuk pergi ke Pulau Atlantis. Malam sebelum keberangkatan, Ratu menceritakan sebuah dongeng terakhir tentang persahabatan Katak, Kumbang, dan Burung Mersan. Dongeng tersebut mengisahkan kerja sama ketiga hewan itu untuk membalas dendam kepada Raja Gajah yang telah membunuh anak-anak mereka. Dengan strategi Katak masuk ke perut gajah, Burung Mersan mengawasi, dan Kumbang menyengat mata, mereka berhasil membunuh Raja Gajah. Hikmah yang diambil para pangeran dari kisah tersebut adalah pentingnya persatuan, kerja sama, dan strategi yang matang.
Pencarian Ilmu dan Pengalaman
Setelah tiga bulan perjalanan, mereka tiba di sebuah simpang tiga dan memutuskan untuk berpisah agar masing-masing dapat memperoleh ilmu sebanyak-banyaknya. Mereka berjanji akan bertemu kembali di simpang tiga tersebut lima tahun kemudian.
Kepulangan dan Ujian Raja
Ketiga pangeran bertemu kembali di simpang tiga. Kristof, dengan ilmu ramalannya, mengetahui bahwa Mahesa telah belajar ilmu penyamun, yang awalnya disangkal Mahesa karena malu.
Dalam perjalanan pulang, mereka ditangkap oleh pasukan perampok. Kristof, yang sudah tahu akan terjadi, berpesan kepada adik-adiknya agar hanya memakan makanan yang ia makan. Mereka berhasil melewati ujian makanan haram yang disajikan Raja Perampok. Kristof kemudian mengungkapkan kelemahan Raja Perampok (kekuatannya ada pada rambutnya). Karena takut rahasianya terbongkar, Raja Perampok menyogok mereka masing-masing dengan sekaleng uang ringgit dan membebaskan mereka.
Sekembalinya ke istana, Raja dan Ratu menguji ketiga putra mereka:
Keputusan Raja
Setelah semua ujian, Raja menyimpulkan bahwa Kristof meskipun ahli agama, tidak dapat mengendalikan kerajaan. Louis meskipun ahli pertukangan, bersikap sombong dan curang. Sementara itu, Mahesa menguasai semua ilmu kejahatan, tetapi tidak pernah mempraktikkannya; ia hanya belajar. Mahesa cerdas, bijaksana, penuh perhitungan, dan tidak sombong.
Oleh karena itu, Raja mengangkat Mahesa menjadi Raja Muda di kerajaan tersebut. Kristof dan Louis menyadari bahwa mereka harus belajar lagi, bukan hanya untuk memperoleh ilmu, tetapi untuk memahami dan menggunakannya demi kebaikan dan kesejahteraan rakyat. Pada akhirnya, ketiga pangeran itu terus belajar, dan kerajaan mereka menjadi makmur dan sejahtera.
Kisah ini menyimpulkan bahwa kepemimpinan sejati tidak hanya didasarkan pada kekuatan atau kecerdasan, tetapi pada hati yang tulus dan bijaksana yang mampu melayani dan mengayomi rakyat.
Baca selengkapnya disini
Tinggalkan Komentar